Tertarik dengan tulisan salah seorang sahabat teman
saya, Dhian Nurma. Saya copy dari blog misscelanous though. Tulisan ini bagi
saya pribadi menjadi pengingat untuk saya sebagai seorang guru yang masih berada
dalam taraf “guru kognitif” agar terus memperbaiki diri, bercermin menjadi
lebih baik. Boleh ya saya bagi.. ^^
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kemarin sepulang dari sebuah agenda, saya tidak sengaja
menemukan selembar publikasi yang berisikan sebuah pengumuman tentang
penerimaan siswa baru sebuah taman kanak-kanak.
Awalnya saya mengamati bagian biaya. Untuk biaya
perbulan 150ribu perbulan dan biaya masuk sebesar 1,5 juta sudah termasuk 4
stel pakaian sekolah. Jadi teringat biaya di TK tempat saya mengajar yang
perbulannya 450rb dan biaya masuk sebesar 8,5 juta. Oh, well. Pendidikan
sekarang memang mahal. Dan sulit sekali menemukan taman kanak-kanak yang
memiliki biaya murah di zaman serba mahal seperti ini.
Tapi yang paling menganggetkan adalah kurikulum yang ditawarkan oleh mereka
(sekolah dengan biaya 150ribu perbulan itu), antara lain:
* Membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia
* Membaca dan menulis dalam bahasa Inggris
* Belajar komputer
Entah mengapa mereka bangga. Saya tidak paham.
Begini, dari beberapa buku yang saya baca serta salah satu jurnal tentang pendidikan
yang pernah saya unduh di internet, banyak yang menyatakan bahwa, anak-anak
di bawah umur 7 tahun harusnya lebih banyak melalui fasa bermain, bukan
belajar. Apalagi sampai belajar membaca dan menulis.
Mereka (anak-anak dibawah umur 7 tahun) boleh diperkenalkan dengan huruf-huruf
dan angka-angka, tetapi bukan belajar mengeja apalagi hingga membaca. Makanya
saya juga cukup kaget waktu tahu ada beberapa taman kanak-kanak yang mewajibkan
tes tertulis, berhitung, dan membaca.
Kenapa dilarang?
Karena akan mematikan fungsi otak kanan yaitu yang lebih menguasai tentang
kreativitas.
Tahu tidak mengapa anak-anak Indonesia itu lebih banyak meraih olimpiade
dibandingkan nobel. Dari sebuah artikel yang pernah saya baca dan saya pernah
mengalami sendiri, di olimpiade kita lebih menggunakan otak kiri, sedangkan
untuk mendapatkan nobel kita perlu inovasi dan karya terbaru di sebuah bidang,
yang berarti juga membutuhkan keseimbangan antara otak kanan dan otak kiri.
Dari sini kita bisa melihat, bahwa pendidikan di Indonesia lebih
menginginkan anak-anaknya menjadi robot-robot dengan kecerdasan otak kiri yang
begitu maksimal, dibandingkan menyeimbangkan keduanya. Padahal, anak-anak di
umur 0-7 tahun, adalah masa keemasan anak-anak yang menentukan sikap atau karakter
seorang anak di masa mendatang.
Dan, keseimbangan otak kanan dan otak kiri bisa didapatkan dengan lebih banyak
bermain dan berinteraksi sosial dibandingkan berkutat dengan huruf dan angka.
Saya kemudian ingin berbagi salah satu artikel yang tidak sengaja saya baca
tadi pagi sembari sarapan. Tulisan karya Rhenald Kasali yang berjudul Dua
Jenis Guru.
Diungkapkan
bahwa ada dua jenis guru; guru kognitif dan guru kreatif. Yang mana guru
kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara,
banyak memberi nasehat, sayangnya sedikit sekali didengarkan. Bagi guru jenis
ini, ia akan merasa bangga jika muridnya mendapat nilai tinggi, disiplin
belajar, ramput rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana/ rok, dan hafal semua
materi yang diajarkan. Bagi guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala
manusia (brain memory). Asumsinya, semakin banyak yang dihafal dan diketahui
seseorang, semakin pintar orang itu, sehingga memiliki masa depan yang baik.
Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik.
Guru kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat
memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS), sangat patuh pada
”tupoksi”. Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru
kognitif ini adalah kebanggaan bagi anak-anak yang lolos masuk di kampus-kampus
favorit. Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN.
Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif
sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya. Anak-anak ini tidak terlatih
menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di
masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Anak-anak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya
berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas
rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat.
Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi,
selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.
Sedangkan guru kreatif adalah guru yang sering kali dianggap aneh di
belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali
kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran
terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru
yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk
mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak
didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu- belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan
tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua
buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau
belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada
perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar,sulit bergaul,
mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.
Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard
skill. Berbeda dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang
kehidupan, mereka justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami
anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat
peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh
tubuh manusia.
Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para
neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle
memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak
kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh,
kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri,dan seterusnya.
Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka
menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir
semua dari mereka bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa
di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop
dan alatalat bantu lainnya. Sebaliknya,guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau
tidak ada alat peraga,kita akan buat sendiri dari limbah. Kalau perlu, kita
ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan
Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,” ujarnya. Saya tertegun.
Seperti itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di
negara-negara maju lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak
bisa mencetak juara Olimpiade Matematika atau Fisika,tetapi mereka mampu
membuat generasi muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar. Mereka
kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan.
Inilah mengapa, pengetahuan mengenai bagaimana mendidik anak di masa emas
tumbuh kembangnya sangat perlu dipahami dengan baik oleh para orang tua dan
calon orang tua.