Minggu, 29 Januari 2017

Menjadikanmu Kukuh Nak, Bukan Kaku



Tertarik dengan tulisan salah seorang sahabat teman saya, Dhian Nurma. Saya copy dari blog misscelanous though. Tulisan ini bagi saya pribadi menjadi pengingat untuk saya sebagai seorang guru yang masih berada dalam taraf “guru kognitif” agar terus memperbaiki diri, bercermin menjadi lebih baik. Boleh ya saya bagi.. ^^
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kemarin sepulang dari sebuah agenda, saya tidak sengaja menemukan selembar publikasi yang berisikan sebuah pengumuman tentang penerimaan siswa baru sebuah taman kanak-kanak.
Awalnya saya mengamati bagian biaya. Untuk biaya perbulan 150ribu perbulan dan biaya masuk sebesar 1,5 juta sudah termasuk 4 stel pakaian sekolah. Jadi teringat biaya di TK tempat saya mengajar yang perbulannya 450rb dan biaya masuk sebesar 8,5 juta. Oh, well. Pendidikan sekarang memang mahal. Dan sulit sekali menemukan taman kanak-kanak yang memiliki biaya murah di zaman serba mahal seperti ini.

Tapi yang paling menganggetkan adalah kurikulum yang ditawarkan oleh mereka (sekolah dengan biaya 150ribu perbulan itu), antara lain:

* Membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia
* Membaca dan menulis dalam bahasa Inggris
* Belajar komputer


Entah mengapa mereka bangga. Saya tidak paham.

Begini, dari beberapa buku yang saya baca serta salah satu jurnal tentang pendidikan yang pernah saya unduh di internet, banyak yang menyatakan bahwa, anak-anak di bawah umur 7 tahun harusnya lebih banyak melalui fasa bermain, bukan belajar. Apalagi sampai belajar membaca dan menulis.

Mereka (anak-anak dibawah umur 7 tahun) boleh diperkenalkan dengan huruf-huruf dan angka-angka, tetapi bukan belajar mengeja apalagi hingga membaca.
Makanya saya juga cukup kaget waktu tahu ada beberapa taman kanak-kanak yang mewajibkan tes tertulis, berhitung, dan membaca.

Kenapa dilarang?

Karena akan mematikan fungsi otak kanan yaitu yang lebih menguasai tentang kreativitas.


Tahu tidak mengapa anak-anak Indonesia itu lebih banyak meraih olimpiade dibandingkan nobel. Dari sebuah artikel yang pernah saya baca dan saya pernah mengalami sendiri, di olimpiade kita lebih menggunakan otak kiri, sedangkan untuk mendapatkan nobel kita perlu inovasi dan karya terbaru di sebuah bidang, yang berarti juga membutuhkan keseimbangan antara otak kanan dan otak kiri.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa pendidikan di Indonesia lebih menginginkan anak-anaknya menjadi robot-robot dengan kecerdasan otak kiri yang begitu maksimal, dibandingkan menyeimbangkan keduanya. Padahal, anak-anak di umur 0-7 tahun, adalah masa keemasan anak-anak yang menentukan sikap atau karakter seorang anak di masa mendatang.

Dan, keseimbangan otak kanan dan otak kiri bisa didapatkan dengan lebih banyak bermain dan berinteraksi sosial dibandingkan berkutat dengan huruf dan angka.


Saya kemudian ingin berbagi salah satu artikel yang tidak sengaja saya baca tadi pagi sembari sarapan. Tulisan karya Rhenald Kasali yang berjudul Dua Jenis Guru.
Diungkapkan bahwa ada dua jenis guru; guru kognitif dan guru kreatif. Yang mana guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasehat, sayangnya sedikit sekali didengarkan. Bagi guru jenis ini, ia akan merasa bangga jika muridnya mendapat nilai tinggi, disiplin belajar, ramput rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana/ rok, dan hafal semua materi yang diajarkan. Bagi guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia (brain memory). Asumsinya, semakin banyak yang dihafal dan diketahui seseorang, semakin pintar orang itu, sehingga memiliki masa depan yang baik. Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik.

Guru kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS), sangat patuh pada ”tupoksi”. Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anak-anak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit. Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya. Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.

Anak-anak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.

Sedangkan guru kreatif adalah guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.

Belenggu- belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar,sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.

Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill. Berbeda dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia.

Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri,dan seterusnya.

Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu lainnya. Sebaliknya,guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat peraga,kita akan buat sendiri dari limbah. Kalau perlu, kita ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,” ujarnya. Saya tertegun. Seperti itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara Olimpiade Matematika atau Fisika,tetapi mereka mampu membuat generasi muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar. Mereka kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan.

Inilah mengapa, pengetahuan mengenai bagaimana mendidik anak di masa emas tumbuh kembangnya sangat perlu dipahami dengan baik oleh para orang tua dan calon orang tua.

0 komentar:

Posting Komentar